Jumat, 24 Oktober 2008

LPSK: DILEMA KEBUTUHAN DAN KEMAMPUAN

MoeVaTar

Meski molor hampir satu tahun dari batas penetapan, akhirnya 7 orang pimpinan lembaga perlindungan saksi dan
korban (LPSK) terpilih juga. Proses panjang yang berpuncak pada wawancara oleh anggota DPR tersebut
menetapkan Abdul Haris Semendawai, I Ketut Sudhiharsa, Lily Pintauly, Teguh Sudarmanto, Lies Sulistiani,
Myra Diarsy, dan R.M. Sindhu Krishno dianggap layak dan mampu memimpin lembaga baru ini, menyisihkan
puluhan calon lainnya. Mereka akan segera memulai tugas berat sebagai ‘malaikat penjaga’ bagi saksi dan
korban kejahatan, utamanya kejahatan berat dan serius. Tugas yang tidak mudah, mengingat permasalahan yang
akan dihadapi LPSK sangat banyak terutama masalah-masalah teknis pelaksanaan.
Pembentukan LPSK merupakan amanah dari UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-undang ini dibuat atas dasar kebutuhan untuk memunculkan keberanian bersaksi bagi para saksi dan
korban kejahatan, terutama pada kejahatan pelanggaran HAM dan beberapa kejahatan berat lainnya. Selama ini,
banyak kasus kejahatan tidak pernah tersentuh proses hukum dan disidangkan karena tidak ada satupun saksi
maupun korban yang berani mengungkapkannya, sementara bukti lain yang didapat penyidik amatlah minim.
Ancaman penganiayaan, penculikan anggota keluarga, hingga pembunuhan menjadi alasan paling jamak yang
menciutkan nyali mereka untuk terlibat dalam memberikan kesaksian. Dalam prakteknya memang tidak sedikit
intimidasi dan potensi ancaman yang diterima korban, saksi, bahkan keluarganya, baik dalam bentuk fisik
maupun psikis. Tidak jarang pula para saksi yang dihilangkan nyawanya oleh pelaku. Hal ini memicu ketakutan
luar biasa bagi saksi maupun korban lain, baik pada kasus yang sama maupun kasus berbeda. Akibatnya, pihak
penyidik seringkali kesulitan untuk mengungkap kejahatan yang terjadi dan meneruskan proses hukumnya.
Karena itu, kebutuhan akan lembaga yang bisa melindungi para korban maupun saksi untuk memberikan
kesaksian dengan rasa aman serta zonder intimidasi menjadi penting dan mendesak. Dengan adanya lembaga
semacam ini, sedikit banyak korban maupun saksi dapat teryakinkan bahwa hidupnya akan aman dari ancaman
dan intimidasi, baik fisik maupun mental. Hal ini tentunya akan menumbuhkan keberanian mereka untuk terlibat
dalam proses peradilan dan membantu aparat berwenang untuk menemukan dan menghukum pelaku sebenarnya
dari sebuah kejahatan. Maka, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai pelaksana tugas
melindungi saksi dan korban.
Namun, proses perlindungan yang akan dilakukan LPSK bukan pekerjaan mudah. Ada banyak masalah latent
yang berpotensi menyulitkan pelaksanaan tugas LPSK nantinya. Program Witness Security (Witsec) di AS,
sebagai pionir program perlindungan saksi, dapat memberikan sedikit gambaran mengenai beragam kendala yang
http://varenotarnes.wordpress.com/2008/09/12/lembaga-pe...ungan-saksi-dan-korban-dilema-kebutuhan-dan-kemampuan/ (1 of 3)10/8/2008 11:51:30 AM
LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN: DILEMA KEBUTUHAN DAN KEMAMPUAN « MoeVaTar
akan dihadapi LPSK. Berikut beberapa di antaranya. Pertama, masalah kesediaan saksi/korban untuk masuk
program perlindungan. Ketika seorang menyatakan diri masuk program perlindungan, ia harus menyepakati
beberapa persyaratan standar yang telah ditetapkan undang-undang. Salah satunya adalah bersedia untuk
memutuskan hubungan dengan setiap orang yang dikenal jika keadaan menghendaki. Hal yang dalam Pasal 30
ayat (2) huruf c UU Nomor 13 Tahun 2006 diartikan juga bahwa saksi/korban yang berada dalam program
perlindungan akan dipindahkan ke tempat persembunyian yang benar-benar memutus hubungan dengan siapapun
dan tidak ada orang yang mengenalnya, meski keluarga inti (suami/istri dan anak) dimungkinkan untuk
diikutsertakan dalam persembunyian. Pemutusan hubungan dengan orang lain ini termasuk kemungkinan untuk
memberi saksi/ korban beserta keluarga intinya kehidupan baru dengan mengubah identitas dan tempat tinggal
baru setelah bersaksi di depan sidang pengadilan agar pelaku kehilangan jejak dan tidak dapat mencelakai saksi/
korban setelah ia bebas dari hukumannya. Konsekuensi ini sangat besar. Begitu seorang saksi/korban
menyatakan bersedia masuk program perlindungan, Mengingat besarnya konsekuensi yang akan diterima jika
bersedia memberikan kesaksian, meskipun masuk program perlindungan, belum tentu setiap saksi/korban
bersedia untuk mengorbankan kehidupannya sebesar itu.
Masalah lain yang akan dihadapi LPSK adalah tekanan psikologis yang dirasakan saksi/korban dalam program
perlindungan, terutama saksi/korban yang diputus hubungannya dengan pihak lain, termasuk keluarga. Meskipun
kemungkinan untuk turut menyertakan keluarga inti dalam program perlindungan, rasa kehilangan pasti tetap
akan besar pada diri saksi/korban, begitupun pada keluarga intinya. Secara sosiologis, keluarga dalam
pemahaman orang Indonesia bukan hanya keluarga inti yang terdiri dari ayah/ibu,suami/istri, dan anak-anak, tapi
lebih luas dari itu. Sepupu dan saudara ayah/ibu pun pada sebagian masyarakat Indonesia merupakan keluarga
dekat yang hubungannya akrab. Bahkan pada beberapa bagian masyarakat Indonesia, ikatan kekeluargaan yang
kuat dan akrab juga melingkupi ipar, saudara ipar, dan lainnya. Maka, adalah sebuah tekanan psikologis besar
ketika seorang saksi.korban dalam program perlindungan diputus hubungannya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya Maka, jika keluarga inti diikutsertakan dalam program perlindungan saksi, bukanlah hal yang terlalu
memberatkan.. Hal ini bukan tidak mungkin turut mempengaruhi kualitas kesaksian yang diberikannya, baik
dalam penyidikan maupun persidangan. Berbeda dengan masyarakat AS. Dalam masyarakat negeri paman sam
itu, hubungan kekeluargaan yang akrab dan kuat hanya ada pada keluarga inti. Sehingga, ketika keluarga inti si
saksi atau korban diikutsertakan dalam program perlindungan, tidak ada masalah berarti secara psikologis.
Masalah ketiga yang berpotensi mempersulit proses perlindungan saksi/korban adalah ketersediaan biaya
pelaksanaan. Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa anggaran LPSK dibebankan pada
APBN. Secara normatif sebenarnya tidak ada masalah. LPSK telah punya sumber pendanaan tetap dalam
melaksanakan tugasnya. Namun, secara praktikal, belajar dari pengalaman lembaga-lembaga penegak hukum
saat ini, dana yang dianggarkan pemerintah untuk LPSK bukan tidak mungkin juga dalam taraf yang minim.
Kejaksaan dan Lembaga Pemasyarakatan selama ini sering mengeluh kecilnya anggaran yang diberikan untuk
proses peradilan yang dibebankan kepada mereka. Itulah salah satu penyebab kinerja kedua lembaga tadi tidak
maksimal, bahkan jauh dari kata cukup baik. Apalagi, proses perlindungan saksi/korban yang akan dijalankan
LPSK mengharuskan banyak kebutuhan untuk dipenuhi, terutama jika ternyata keadaan menghendaki saksi/
http://varenotarnes.wordpress.com/2008/09/12/lembaga-pe...ungan-saksi-dan-korban-dilema-kebutuhan-dan-kemampuan/ (2 of 3)10/8/2008 11:51:30 AM
LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN: DILEMA KEBUTUHAN DAN KEMAMPUAN « MoeVaTar
korban dalam program perlindungan harus disembunyikan secara maksimal. Pengalaman program Witness
Security Program di AS, tidak jarang saksi/korban dalam program perlindungan dipindahkan ke tempat
persembunyian berbeda setiap bulannya. Dana yang dikeluarkan pun tidak sedikit untuk setiap saksi. Mampukah
APBN Indonesia memenuhinya di saat kondisi bangsa seperti ini.
Masih banyak masalah lain yang berpotensi menjadi kendala bagi LPSK. Untuk itu pemerintah perlu segera
melakukan langkah-langkah preventif sebelum LPSK benar-benar menemui masalah dalam pelaksanaan
tugasnya. Satu solusi kecil yang bisa dilakukan adalah segera mengeluarkan peraturan pelaksana teknis dari UU
No.13/2006. Saat ini peraturan pelaksana yang ada baru mengatur masalah pemberian restitusi, kompensasi, dan
ganti rugi bagi saksi/korban, yaitu PP Nomor 44 Tahun 2008. Padahal, jauh lebih mendesak untuk dikeluarkan
aturan mengenai teknis pelaksanaan perlindungan dan tata panduan pelaksanaan tugas LPSK agar lembaga ini
bisa segera melaksanakan tugasnya dengan baik. Saat ini saja, meski belum memiliki kantor, sudah banyak
laporan dan permohonan yang disampaikan masyarakat.
Posted in HUKUM
http://varenotarnes.wordpress.com/2008/09/12/lembaga-perlindungan-saksi-dan-korban-dilema-kebutuhan-dan-kemampuan/ (3 of 3)10/8/2008 11:51:30 AM

Tidak ada komentar: