Jumat, 17 Oktober 2008

Ketua LPSK: Negara Tidak Siap Menerima Lembaga Baru


[20/9/08]

Orang seperti Agus Condro juga harus dilindungi, karena dia saksi kejahatan yang dilakukan orang lain. Coba bayangkan jika dengan terungkapnya kecurangan ini, maka berapa besar uang negara berjumlah milyaran ataupun trilyunan yang bisa diselamatkan.

Pada tanggal 11 Agustus 2006, undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban akhirnya resmi diundangkan. Undang-undang bernomor 13 Tahun 2006 itu dipandang sebagai kemajuan signifikan dalam konteks perlindungan HAM di negeri ini. Di dalamnya termuat sejumlah ketentuan penting, salah satunya tentang pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Penuh semangat, UU No. 13 Tahun 2006 menetapkan agar LPSK dibentuk paling lambat 11 Agustus 2007. Semangat UU ternyata bertolakbelakang dengan kondisi riil di lapangan. Proses pembentukan LPSK berjalan sangat lamban. Mulai dari proses di pemerintah yang terkendala dengan masalah anggaran sampai di DPR yang terlalu fokus pada paket UU politik.

Terlambat satu tahun, tujuh orang hasil pilihan DPR akhirnya diangkat sebagai anggota LPSK oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Agustus 2008. Pasca pengangkatan, masalah kembali menghadang LPSK. Bukan hanya status para anggotanya yang hingga kini belum dilantik, tetapi juga masalah ketidaksiapan kesekretariatan dan lagi-lagi anggaran.

Merekam proses pembentukan LPSK yang begitu sarat kendala, memunculkan pertanyaan bagaimana sebenarnya komitmen negara, khususnya pemerintah, dalam konteks perlindungan saksi dan korban? Untuk mengetahui pandangan LPSK mengenai masalah ini serta visi dan misi mereka secara umum, hukumonline berkesempatan wawancara dengan sang Ketua LPSK terpilih Abdul Haris Semendawai, via telepon (14/9).

Apa saja yang menjadi program-program LPSK ?

LPSK ini tugas fungsi dan kewenangannya itu yang pertama memberikan perlindungan kepada saksi dan korban, korban yang dillindungi itu adalah saksi yang mengalami gangguan ancaman teror atau kekerasan akibat suatu kejahatan. Di luar saksi dan korban kriminal kita tidak mempunyai kewenangan di situ, kewenangan kita mencakup saksi dan korban kasus-kasus pidana saja.

Selain perlindungan, kita juga punya kewenangan untuk memberikan asistensi terhadap korban yaitu berupa pengobatan baik medis maupun psikologis. Ketiga, yaitu memfasilitasi para koban dan saksi yang mengalami kejahatan, dengan cara mengajukan kompensasi dan/atau restitusi melalui pengadilan. Jadi, dari tiga fungsi pokok ini tidak mungkin berjalan jika LPSK-nya sendiri tidak berjalan dengan baik.

Makanya, harus ada struktur organisasi yang baik, ada sumber daya manusianya, ada sarana prasarana, didukung oleh anggaran, dan dukungan dari publik baik masyarakat sipil khususnya jurnalis juga termasuk dari aparat penegak hukum. Antara fungsi dan syarat-syarat ini harus saling terkait, jika keorganisasiannya tidak berjalan dengan baik, otomatis tugas dan kewenangannya itu tidak berjalan dengan baik juga. Karena LPSK ini merupakan satu lembaga baru yang sebelumnya belum pernah ada, maka kami mulai bekerja itu dari nol, yakni kita mulai menyiapkan struktur organisasi yang pas menurut kita itu seperti apa.

Bagaimana nasib kesekretariatan LPSK?

Kita sudah berkoordinasi dengan menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, untuk membicarakan tentang bagaimana membangun kesekretariatan LPSK itu sesuai dengan Good Governance, dan juga dibuat dengan cepat. Masalahnya, untuk membuat sekretariat LPSK ini memang membutuhkan Peraturan Presiden. Sekarang Perpres ini sudah disiapkan dan sedang digodok, mudah-mudahan dalam bulan ini paling lambat awal bulan depan sudah disiapkan oleh Presiden, sehingga berangkat dari situ sekretariat kita sudah bisa terbentuk dan perekrutan sumber daya manusia yang lain dapat segera berjalan.

Jadi, sampai saat ini kesekretariatan kita ini memang belum ada. Untuk keperluan surat-menyurat kita selama ini pinjam alamatnya Dirjen HAM. Memang ada beberapa tawaran mengenai sekretariat, yakni di gedung Pola Jl. Proklamasi. Tetapi ada yang melihat beberapa kantor lain yang sebenarnya bisa digunakan untuk kantor kita, seperti bekas gedung kantor KPK di belakang Istana Negara, kemudian bekas gedung Mahkamah Konstitusi juga masih kosong sampai sekarang. Jadi, kita sendiri belum tau mana yang bisa digunakan. Untuk kantor ini memang sangat tergantung pada penyedian yang diberikan oleh Sekretariat Negara.

Berhubung kesekretariatan belum terbentuk, lalu kegiatan apa saja yang sudah atau sedang dilakukan LPSK?

Selama ini kita melakukan rapat koordinasi intern antar komisioner dengan meminjam ruang rapat Departemen Hukum dan HAM. Pernah juga kita memakai ruang rapat komnas HAM, selain itu kita juga pernah rapat di hotel-hotel. Untuk rapat di hotel ini memang kita terpaksa keluar dana sendiri karena kita belum dapat anggaran. Padahal, kita mempunyai kebutuhan untuk melakukan rapat-rapat intensif, yang di dalamnya bisa membahas rencana kegiatan empat bulan kedepan itu apa saja yang kita inventarisir.

Karena kita mulai dari nol, jika gedung belum siap pastinya nanti dibutuhkan renovasi atau perbaikan gedung-gedung. Lalu, sarana dan prasarana kita seperti komputer, keperluan administrasi dan penunjang pekerjaan seperti meja, kursi dan lain-lain. Sehingga memang dalam empat bulan pertama ini lebih banyak kita fokus pada internal organisasi, bagaimana sarana pendukung organisasi baik perangkat keras dan perangkat lunaknya itu sudah siap. Perangkat keras itu bisa meliputi adanya kendaraan operasional, adanya komputer dan lain-lain. Sedangkan perangkat lunak itu kita menyusun mekanisme pengaduan, mekanisme perlindungan, termasuk aturan internal organisasi kita.

Kita berharap semestinya mulai 1 September kemarin itu semua sudah ada, tapi kenyataannya beda. Kita juga sudah mengajukan hal ini kepada Sekretariat Negara agar 1 September semua ini sudah ada, tapi mereka sendiri belum bisa memastikan itu dan sampai sekarang akhirnya sekretariatnya sendiri belum jelas. Waktu terakhir saya bertemu dengan Mensesneg dalam suatu pertemuan informal, beliau mengatakan bahwa sekretariat negara menyiapkannya di gedung Pola. Sementara, tetapi yang kita dengar, informasi gedung tersebut perlu dilakukan sejumlah perbaikan dan renovasi yang memerlukan waktu dalam pengerjaannya. Sehingga ada kekhawatiran kalau kita menunggu perbaikan dan renovasi ini, pekerjaan kita akan semakin tertunda.

Padahal ada bayangan sambil kita menunggu siapnya sarana prasarana dan dukungan, kita sudah mulai mempelajari laporan-laporan pengaduan dan perlindungan yang mulai masuk. Jadi, ada satu kegiatan yang sifatnya simultan. Di satu sisi penyiapan sarana prasarana dukungan, terus di sisi lain adanya keinginan masyarakat untuk mendapatkan respon dari kita atas pengaduan-pengaduan yang mereka sampaikan agar tidak terabaikan.

Menurut anda, bagaimana sebenarnya komitmen negara dalam hal dukungan terhadap LPSK, mengingat LPSK sendiri belum mempunyai sekretariat?

Kami melihat sepertinya negara ini tidak siap menghadapi lahirnya lembaga baru. Kenapa saya mengatakan seperti ini, sebenarnya sejak tanggal 8 Agustus kita sudah diangkat oleh Presiden. Artinya, pengangkatan kita ini sudah berlangsung selama satu bulan lebih, maksudnya dalam satu bulan ini kita belum pernah diundang secara resmi oleh salah satu lembaga negara untuk menerangkan apa yang harus kami tunggu, apa yang telah disediakan untuk kami dan lain sebagainya.

Tidak ada semacam pengarahan-pengarahan semacam itu, dan tidak ada gambaran secara resmi dari pemerintah kira-kira beberapa lama lembaga ini akan beroperasional, misalnya sebulan lagi atau malah tahun depan. Tidak ada kejelasan sama sekali, dari situ kami lihat pemerintah terkesan tidak siap akan adanya LPSK. Dan sepertinya kita diabaikan, tapi kita tidak mau tinggal diam dalam situasi seperti ini, kita berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya proaktif.

Misalnya kita berusaha untuk melakukan pertemuan-pertemuan dalam rangka meminta kejelasan-kejelasan seperti hal yang di atas tadi. Mestinya kita itu tidak perlu untuk mencari, hanya kita cukup diundang, oleh suatu instansi misal Setneg, Dephukkam, dan dijelaskan untuk membangun lembaga ini sudah sekian lama, ini yang kita siapkan a, b, c, d, nya. Sehingga kita punya gambaran kira-kira kapan kita bisa mulai beroperasi.

Dari kenyataan itu kita juga menagih komitmen dari pemerintah dan dukungan terkait kepentingan LPSK ini. Hari kamis kemarin (11/9), kami bertemu dengan Menhukham, sebelumnya kami bertemu dengan Deputi SDM Setneg, sebelumnya dengan Dirjen HAM, kemudian bertemu Dirjen Perundang-undangan. Jadi, sebenarnya upaya kami dalam meminta kejelasan dan dukungan sudah cukup banyak. Selasa depan (16/9), agendanya kami bertemu dengan Mensesneg di kantornya, mengenai kapan kesekretariatan bisa dibentuk, siapa orang-orangnya, dan lain-lain.

Kemudian kita mendorong agar hal tersebut tidak perlu bertahap, maksudnya biar simultan saja. Jadi, sambil menunggu peraturannya, orang yang akan menduduki sekretaris itu sudah disiapkan sehingga kita tidak menunggu terlalu lama. Jika bertahap, maka akan butuh waktu panjang dalam proses ini. Dalam pertemuan nanti dengan Mensesneg kita akan membicarakan hal tersebut, bagaimana peraturan yang berkaitan dengan kesekretariatan ini bisa disahkan oleh Presiden. Dan yang tidak kalah pentingnya itu sekretariat bagi LPSK dan adanya anggaran. Ini yang kita nomor satu satukan.

Kalau mengacu undang-undang ini, sekretaris itu kan pegawai negeri, dan yang mengangkat sekretaris itu Mensesneg. Tentu saja untuk mencari orang dengan posisi seperti ini mungkin diperlukan proses khusus di Setnegnya sendiri. Yang menjadi kekhawatiran saya jika hal tersebut tidak dimulai dari sekarang, itu prosesnya nanti akan memakan waktu yang lama, kan gak bisa asal tunjuk, karena sekretaris ini diperlukan orang yang mempunyai kredibiltas yang tinggi.

Belakangan sepertinya muncul tren terbongkarnya suatu kejahatan berkat keterangan pelaku lainnya yang juga berposisi sebagai saksi. Bagaimana pandangan LPSK mengenai hal ini?

Saya kira ini kenyataan yang terjadi, untuk mengungkapkan suatu kejahatan, apalagi kejahatan tersebut diorganisir. hanya orang-orang tertentu saja yang kemudian mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang seperti ini tidak banyak, Jika kita tidak mau memberikan perhatian terhadap orang-orang ini, maka kasus-kasus besar tidak akan terungkap.

Nah, kalau kasus-kasus semacam ini tidak terungkap, berarti kejahatannya akan terus terjadi. Jika ini terus terjadi yang dirugikan juga negara khususnya masyarakat. Jadi dengan adanya LPSK sebenarnya kita mencoba melindungi saksi, yang memang bisa memberikan kesaksian sehingga kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan rahasia itu bisa terungkap.

Orang seperti Agus Condro juga harus dilindungi, karena dia saksi kejahatan yang dilakukan orang lain. Dialah orang yang mengetahui praktek-praktek curang dalam suatu tindak pidana korupsi. Coba bayangkan jika dengan terungkapnya kecurangan ini, maka berapa besar uang negara berjumlah milyaran ataupun trilyunan yang bisa diselamatkan. Karena itulah kemudian LPSK melindungi saksi-saksi yang terlibat dalam kasus seperti ini menjadi sangat penting, sangat krusial. Karena tanpa melakukan perlindungan terhadap mereka, kasus seperti ini tidak akan terungkap.

(CRF)


Tidak ada komentar: