Jumat, 17 Oktober 2008

KOMISI III LAPORKAN TUJUH NAMA ANGGOTA LPSK

dpr.go.id. Komisi III DPR RI menyampaikan laporan hasil pelaksanaan seleksi calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dimana terpilih tujuh orang anggota. Hal itu disampaikan Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan (F-PDIP) pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (15/7) yang dipimpin Ketua DPR RI Agung Laksono.

Trimedya mengatakan, sebelumnya Komisi III telah melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap 14 orang calon anggota LPSK dari tanggal 7-9 Juli 2008. Dilanjutkan malam harinya Rapat Pleno pengambilan keputusan terhadap calon anggota LPSK di tingkat komisi.


Berdasarkan Rapat Pleno Pemilihan Anggota LPSK, dihasilkan tujuh nama anggota LPSK yang terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak secara berurutan dari 14 calon yang dipilih 44 orang anggota Komisi III.


Nama-nama anggota tersebut adalah, H. Teguh Soedarsono (44 suara), Abdul Haris Semendawai (43 suara), Myra Diarsi (42 suara), I Ktut Sudiharsa (26 suara), Kies Sulistiani (26 suara) Lili Pintauli (22 suara) dan R.M. Sindhu Krishno (21 suara).


Menurut Trimedya, keberadaan LPSK saat ini sudah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda lagi. Apalagi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah menggariskan pembaruan politik penegakan hukum di Indonesia dengan mengamanatkan perlunya dibentuk suatu lembaga yang melaksanakan perlindungan saksi dan korban.


Trimedya menjelaskan, LPSK merupakan suatu lembaga yang memiliki mandat untuk melindungi saksi dan korban dari suatu tindak pelanggaran hukum. Sebab berbagai permasalahan yang berkaitan dengan terjadinya pelanggaran hukum selalu memunculkan saksi dan korban.


Pada umumnya, katanya, posisi serta kondisi korban maupun saksi sangat tidak menguntungkan dan tidak sedikit kasus atau perkara yang terjadi mengalami hambatan atau kesulitan dalam tindaklanjut proses penegakan hukumnya.


Untuk itu, maka penegakan hukum di Indonesia memerlukan sebuah dukungan mekanisme yang jelas dan kuat terhadap pelaksanaan perlindungan terhadap saksi dan korban.


Ketersediaan mekanisme perlindungan saksi dan korban menurut Trimedya, amat penting untuk menjamin diperolehnya kebenaran materiil sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait.


Di masa yang akan datang, tuturnya, aspek perlindungan saksi dan korban menjadi bagian atau salah satu mekanisme yang terkait erat dalam sistem peradilan di Indonesia.


Dengan telah dilaporkannya hasil seleksi tersebut, Komisi III berharap Pimpinan Dewan segera menyampaikan kepada Presiden, sehingga ke tujuh anggota LPSK itu dapat segera dilantik. (tt)

Perkenalan Anggota LPSK

Berita-Aktual-Jakarta. Kamis (10/7) Rumah makan Warung Daun Jl. Cikini Raya tidak seperti hari biasanya, siang hari ini warang makan tersebut di jadikan tempat untuk Konferensi Pers dan Perkenalan Anggota LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

Acara konperensi pers dan perkenalan anggota LPSK ini diselenggarakan oleh Komisi Perlindungan Saksi. Adapun anggota LPSK yang dihadir oleh Abdul Haris Semendawai (LSM), H. Teguh Soedarsono (Polisi), Drs. Myra Diarsi, MA (LSM), Ktut Sudinarsi (Polisi) dan Lili Pintauli, SH (advokat). Turut juga dihadiri oleh korban G 30S/PKI, orang tua korban almarhum Elang Maulana, dan korban kerusuhan Mei 1998.

Perubahan profile saya dari Polisi menjadi sipil merupakan suatu tantangan. Sebenarnya saat-saat inilah tujuh dari kami ini menghadapi tantangan dalam LPSK, yaitu pertama siap bekerja keras termasuk biaya dan waktu, kedua siap untuk dicaci maki oleh kawan sejawat termasuk Polri karena LPSK ini akan mengkritisi kinerja Polri, demiakn juga kawan-kawan dari advokat, LSM. Ketiga adalah siap mati karena akan menghadapi kasus tindak pidana termasuk corporate crime. Tutur H. Teguh Soedarsono (Polisi)

Prioritas-prioritas kita memberikan perlindungan terhadap kasus-kasus seperti itu, hanya saja tidak semua saksi itu harus kita lindungi, karena kita tahu sebagai lembaga baru kemampuan sangat terbatas, mungkin membutuhkan waktu yang panjang untuk lembaga ini bekerja. Kata A H. Semendawai. (UP)

LPSK Upayakan Teleconference


JAKARTA -- Kehadiran Budi Santoso, saksi kunci dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, benar-benar ditunggu dalam persidangan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pun siap memfasilitasi kehadiran agen madya BIN itu untuk mengungkap kasus yang telah berumur empat tahun tersebut.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, kesaksian Budi yang sangat penting tetap harus diperdengarkan, meski yang bersangkutan tidak bisa hadir di pengadilan. Misalnya dengan menggunakan telekomunikasi jarak jauh. "Kalau diperlukan teleconference, akan kami upayakan," katanya kemarin.

Selain itu, pihaknya juga siap memberikan perlindungan kepada saksi. Permohonan bisa diajukan tanpa saksi yang bersangkutan meminta sendiri. Namun bisa dilakukan melalui kuasa hukum, keluarga, atau jaksa penuntut umum. "Tentunya dengan persetujuan majelis hakim," jelasnya.

Abdul Haris menjelaskan, perlindungan terhadap saksi diberikan sejak saksi keluar dari tempat tinggalnya. Mulai memberikan kesaksian di persidangan, hingga kembali dari persidangan. JPU sebagai pihak yang memanggil saksi pun juga harus memperhatikan keamanan saksi.

Seperti diwartakan, dalam persidangan kasus Munir dengan terdakwa mantan Deputi V/Penggalangan BIN Mayjen (pur) Muchdi Purwopranjono, saksi Budi Santoso belum berhasil dihadirkan. Sebab, Budi saat ini tengah melaksanakan tugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pakistan.

Belum hadirnya Budi sempat diwarnai dengan surat yang diklaim berasal dari Budi. Isinya, pencabutan keterangan dalam BAP. Namun surat tersebut diduga hanya rekayasa. Selain itu, pencabutan BAP melalui surat tidak lazim dan tidak diatur KUHAP. (fal/oki)

Ketua LPSK: Negara Tidak Siap Menerima Lembaga Baru


[20/9/08]

Orang seperti Agus Condro juga harus dilindungi, karena dia saksi kejahatan yang dilakukan orang lain. Coba bayangkan jika dengan terungkapnya kecurangan ini, maka berapa besar uang negara berjumlah milyaran ataupun trilyunan yang bisa diselamatkan.

Pada tanggal 11 Agustus 2006, undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban akhirnya resmi diundangkan. Undang-undang bernomor 13 Tahun 2006 itu dipandang sebagai kemajuan signifikan dalam konteks perlindungan HAM di negeri ini. Di dalamnya termuat sejumlah ketentuan penting, salah satunya tentang pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Penuh semangat, UU No. 13 Tahun 2006 menetapkan agar LPSK dibentuk paling lambat 11 Agustus 2007. Semangat UU ternyata bertolakbelakang dengan kondisi riil di lapangan. Proses pembentukan LPSK berjalan sangat lamban. Mulai dari proses di pemerintah yang terkendala dengan masalah anggaran sampai di DPR yang terlalu fokus pada paket UU politik.

Terlambat satu tahun, tujuh orang hasil pilihan DPR akhirnya diangkat sebagai anggota LPSK oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Agustus 2008. Pasca pengangkatan, masalah kembali menghadang LPSK. Bukan hanya status para anggotanya yang hingga kini belum dilantik, tetapi juga masalah ketidaksiapan kesekretariatan dan lagi-lagi anggaran.

Merekam proses pembentukan LPSK yang begitu sarat kendala, memunculkan pertanyaan bagaimana sebenarnya komitmen negara, khususnya pemerintah, dalam konteks perlindungan saksi dan korban? Untuk mengetahui pandangan LPSK mengenai masalah ini serta visi dan misi mereka secara umum, hukumonline berkesempatan wawancara dengan sang Ketua LPSK terpilih Abdul Haris Semendawai, via telepon (14/9).

Apa saja yang menjadi program-program LPSK ?

LPSK ini tugas fungsi dan kewenangannya itu yang pertama memberikan perlindungan kepada saksi dan korban, korban yang dillindungi itu adalah saksi yang mengalami gangguan ancaman teror atau kekerasan akibat suatu kejahatan. Di luar saksi dan korban kriminal kita tidak mempunyai kewenangan di situ, kewenangan kita mencakup saksi dan korban kasus-kasus pidana saja.

Selain perlindungan, kita juga punya kewenangan untuk memberikan asistensi terhadap korban yaitu berupa pengobatan baik medis maupun psikologis. Ketiga, yaitu memfasilitasi para koban dan saksi yang mengalami kejahatan, dengan cara mengajukan kompensasi dan/atau restitusi melalui pengadilan. Jadi, dari tiga fungsi pokok ini tidak mungkin berjalan jika LPSK-nya sendiri tidak berjalan dengan baik.

Makanya, harus ada struktur organisasi yang baik, ada sumber daya manusianya, ada sarana prasarana, didukung oleh anggaran, dan dukungan dari publik baik masyarakat sipil khususnya jurnalis juga termasuk dari aparat penegak hukum. Antara fungsi dan syarat-syarat ini harus saling terkait, jika keorganisasiannya tidak berjalan dengan baik, otomatis tugas dan kewenangannya itu tidak berjalan dengan baik juga. Karena LPSK ini merupakan satu lembaga baru yang sebelumnya belum pernah ada, maka kami mulai bekerja itu dari nol, yakni kita mulai menyiapkan struktur organisasi yang pas menurut kita itu seperti apa.

Bagaimana nasib kesekretariatan LPSK?

Kita sudah berkoordinasi dengan menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, untuk membicarakan tentang bagaimana membangun kesekretariatan LPSK itu sesuai dengan Good Governance, dan juga dibuat dengan cepat. Masalahnya, untuk membuat sekretariat LPSK ini memang membutuhkan Peraturan Presiden. Sekarang Perpres ini sudah disiapkan dan sedang digodok, mudah-mudahan dalam bulan ini paling lambat awal bulan depan sudah disiapkan oleh Presiden, sehingga berangkat dari situ sekretariat kita sudah bisa terbentuk dan perekrutan sumber daya manusia yang lain dapat segera berjalan.

Jadi, sampai saat ini kesekretariatan kita ini memang belum ada. Untuk keperluan surat-menyurat kita selama ini pinjam alamatnya Dirjen HAM. Memang ada beberapa tawaran mengenai sekretariat, yakni di gedung Pola Jl. Proklamasi. Tetapi ada yang melihat beberapa kantor lain yang sebenarnya bisa digunakan untuk kantor kita, seperti bekas gedung kantor KPK di belakang Istana Negara, kemudian bekas gedung Mahkamah Konstitusi juga masih kosong sampai sekarang. Jadi, kita sendiri belum tau mana yang bisa digunakan. Untuk kantor ini memang sangat tergantung pada penyedian yang diberikan oleh Sekretariat Negara.

Berhubung kesekretariatan belum terbentuk, lalu kegiatan apa saja yang sudah atau sedang dilakukan LPSK?

Selama ini kita melakukan rapat koordinasi intern antar komisioner dengan meminjam ruang rapat Departemen Hukum dan HAM. Pernah juga kita memakai ruang rapat komnas HAM, selain itu kita juga pernah rapat di hotel-hotel. Untuk rapat di hotel ini memang kita terpaksa keluar dana sendiri karena kita belum dapat anggaran. Padahal, kita mempunyai kebutuhan untuk melakukan rapat-rapat intensif, yang di dalamnya bisa membahas rencana kegiatan empat bulan kedepan itu apa saja yang kita inventarisir.

Karena kita mulai dari nol, jika gedung belum siap pastinya nanti dibutuhkan renovasi atau perbaikan gedung-gedung. Lalu, sarana dan prasarana kita seperti komputer, keperluan administrasi dan penunjang pekerjaan seperti meja, kursi dan lain-lain. Sehingga memang dalam empat bulan pertama ini lebih banyak kita fokus pada internal organisasi, bagaimana sarana pendukung organisasi baik perangkat keras dan perangkat lunaknya itu sudah siap. Perangkat keras itu bisa meliputi adanya kendaraan operasional, adanya komputer dan lain-lain. Sedangkan perangkat lunak itu kita menyusun mekanisme pengaduan, mekanisme perlindungan, termasuk aturan internal organisasi kita.

Kita berharap semestinya mulai 1 September kemarin itu semua sudah ada, tapi kenyataannya beda. Kita juga sudah mengajukan hal ini kepada Sekretariat Negara agar 1 September semua ini sudah ada, tapi mereka sendiri belum bisa memastikan itu dan sampai sekarang akhirnya sekretariatnya sendiri belum jelas. Waktu terakhir saya bertemu dengan Mensesneg dalam suatu pertemuan informal, beliau mengatakan bahwa sekretariat negara menyiapkannya di gedung Pola. Sementara, tetapi yang kita dengar, informasi gedung tersebut perlu dilakukan sejumlah perbaikan dan renovasi yang memerlukan waktu dalam pengerjaannya. Sehingga ada kekhawatiran kalau kita menunggu perbaikan dan renovasi ini, pekerjaan kita akan semakin tertunda.

Padahal ada bayangan sambil kita menunggu siapnya sarana prasarana dan dukungan, kita sudah mulai mempelajari laporan-laporan pengaduan dan perlindungan yang mulai masuk. Jadi, ada satu kegiatan yang sifatnya simultan. Di satu sisi penyiapan sarana prasarana dukungan, terus di sisi lain adanya keinginan masyarakat untuk mendapatkan respon dari kita atas pengaduan-pengaduan yang mereka sampaikan agar tidak terabaikan.

Menurut anda, bagaimana sebenarnya komitmen negara dalam hal dukungan terhadap LPSK, mengingat LPSK sendiri belum mempunyai sekretariat?

Kami melihat sepertinya negara ini tidak siap menghadapi lahirnya lembaga baru. Kenapa saya mengatakan seperti ini, sebenarnya sejak tanggal 8 Agustus kita sudah diangkat oleh Presiden. Artinya, pengangkatan kita ini sudah berlangsung selama satu bulan lebih, maksudnya dalam satu bulan ini kita belum pernah diundang secara resmi oleh salah satu lembaga negara untuk menerangkan apa yang harus kami tunggu, apa yang telah disediakan untuk kami dan lain sebagainya.

Tidak ada semacam pengarahan-pengarahan semacam itu, dan tidak ada gambaran secara resmi dari pemerintah kira-kira beberapa lama lembaga ini akan beroperasional, misalnya sebulan lagi atau malah tahun depan. Tidak ada kejelasan sama sekali, dari situ kami lihat pemerintah terkesan tidak siap akan adanya LPSK. Dan sepertinya kita diabaikan, tapi kita tidak mau tinggal diam dalam situasi seperti ini, kita berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya proaktif.

Misalnya kita berusaha untuk melakukan pertemuan-pertemuan dalam rangka meminta kejelasan-kejelasan seperti hal yang di atas tadi. Mestinya kita itu tidak perlu untuk mencari, hanya kita cukup diundang, oleh suatu instansi misal Setneg, Dephukkam, dan dijelaskan untuk membangun lembaga ini sudah sekian lama, ini yang kita siapkan a, b, c, d, nya. Sehingga kita punya gambaran kira-kira kapan kita bisa mulai beroperasi.

Dari kenyataan itu kita juga menagih komitmen dari pemerintah dan dukungan terkait kepentingan LPSK ini. Hari kamis kemarin (11/9), kami bertemu dengan Menhukham, sebelumnya kami bertemu dengan Deputi SDM Setneg, sebelumnya dengan Dirjen HAM, kemudian bertemu Dirjen Perundang-undangan. Jadi, sebenarnya upaya kami dalam meminta kejelasan dan dukungan sudah cukup banyak. Selasa depan (16/9), agendanya kami bertemu dengan Mensesneg di kantornya, mengenai kapan kesekretariatan bisa dibentuk, siapa orang-orangnya, dan lain-lain.

Kemudian kita mendorong agar hal tersebut tidak perlu bertahap, maksudnya biar simultan saja. Jadi, sambil menunggu peraturannya, orang yang akan menduduki sekretaris itu sudah disiapkan sehingga kita tidak menunggu terlalu lama. Jika bertahap, maka akan butuh waktu panjang dalam proses ini. Dalam pertemuan nanti dengan Mensesneg kita akan membicarakan hal tersebut, bagaimana peraturan yang berkaitan dengan kesekretariatan ini bisa disahkan oleh Presiden. Dan yang tidak kalah pentingnya itu sekretariat bagi LPSK dan adanya anggaran. Ini yang kita nomor satu satukan.

Kalau mengacu undang-undang ini, sekretaris itu kan pegawai negeri, dan yang mengangkat sekretaris itu Mensesneg. Tentu saja untuk mencari orang dengan posisi seperti ini mungkin diperlukan proses khusus di Setnegnya sendiri. Yang menjadi kekhawatiran saya jika hal tersebut tidak dimulai dari sekarang, itu prosesnya nanti akan memakan waktu yang lama, kan gak bisa asal tunjuk, karena sekretaris ini diperlukan orang yang mempunyai kredibiltas yang tinggi.

Belakangan sepertinya muncul tren terbongkarnya suatu kejahatan berkat keterangan pelaku lainnya yang juga berposisi sebagai saksi. Bagaimana pandangan LPSK mengenai hal ini?

Saya kira ini kenyataan yang terjadi, untuk mengungkapkan suatu kejahatan, apalagi kejahatan tersebut diorganisir. hanya orang-orang tertentu saja yang kemudian mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang seperti ini tidak banyak, Jika kita tidak mau memberikan perhatian terhadap orang-orang ini, maka kasus-kasus besar tidak akan terungkap.

Nah, kalau kasus-kasus semacam ini tidak terungkap, berarti kejahatannya akan terus terjadi. Jika ini terus terjadi yang dirugikan juga negara khususnya masyarakat. Jadi dengan adanya LPSK sebenarnya kita mencoba melindungi saksi, yang memang bisa memberikan kesaksian sehingga kejahatan yang dilakukan secara terorganisir dan rahasia itu bisa terungkap.

Orang seperti Agus Condro juga harus dilindungi, karena dia saksi kejahatan yang dilakukan orang lain. Dialah orang yang mengetahui praktek-praktek curang dalam suatu tindak pidana korupsi. Coba bayangkan jika dengan terungkapnya kecurangan ini, maka berapa besar uang negara berjumlah milyaran ataupun trilyunan yang bisa diselamatkan. Karena itulah kemudian LPSK melindungi saksi-saksi yang terlibat dalam kasus seperti ini menjadi sangat penting, sangat krusial. Karena tanpa melakukan perlindungan terhadap mereka, kasus seperti ini tidak akan terungkap.

(CRF)


Hakim Harus Tindak Tegas Pencabut BAP

Sabtu, 27 September 2008 | 00:33 WIB

Jakarta, Kompas - Majelis hakim seharusnya bertindak tegas terhadap saksi yang secara sepihak mencabut berita acara pemeriksaan atau BAP. Apalagi jika pencabutan BAP itu karena alasan-alasan yang tidak jelas dan tidak ditemukannya unsur pemaksaan dan kekerasan dalam penyidikan.

Hal ini diungkapkan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai, Jakarta, Jumat (26/9). Pernyataan ini diungkapkan Semendawai menanggapi banyaknya saksi yang mencabut BAP tanpa alasan yang jelas dalam sidang-sidang pengadilan.

”Pencabutan BAP itu perlu diteliti lebih jauh apa yang membuat yang bersangkutan mencabut BAP. Kalau ada kekerasan, berarti ada yang keliru di penyidiknya. Akan tetapi, kalau mencabut pernyataan tanpa ada alasan yang jelas, perlu dilihat alasan itu sebab konsekuensi hukum dari pencabutan BAP tersebut merugikan korban dan jaksa penuntut umum,” kata Semendawai.

Ia melanjutkan, jaksa penuntut umum membuat dakwaan berdasarkan BAP. Kemudian jaksa penuntut umum menilai apakah bukti-bukti sudah mencukupi.

”Kalau tahu-tahu di pengadilan saksi mencabut BAP tanpa alasan yang jelas, ini menimbulkan kerugian pada jaksa. Contohnya saja dalam kasus Timor Timur, banyak keterangan para saksi yang sampai ke pengadilan dicabut semua. Ini sangat merugikan korban dan jaksa. Perbuatan para saksi yang mencabut sepihak BAP ini namanya menjebak jaksa penuntut umum. Kalau mereka dari awal tidak bersedia, kan jaksa penuntut umum bisa mencari saksi lain. Akan tetapi, kalau sudah sampai di pengadilan, bagaimana jaksa penuntut umum bisa mencari saksi lainnya?” kata Semendawai.

Oleh karena itu, kata Semendawai, saksi yang mencabut keterangannya dalam BAP tanpa alasan yang jelas bisa dikenai pemberian keterangan palsu di pengadilan.

”Ini bisa dipidana. Jaksa penuntut umum bisa melaporkan ke kepolisian soal keterangan palsu ini. Hakim juga sebenarnya bisa melakukan perintah penahanan terhadap para saksi yang melakukan sumpah palsu. Hakim harus tegas. Kalau tidak, preseden buruk pencabutan BAP tanpa alasan yang jelas ini bisa berulang terus,” katanya.

Semendawai juga menceritakan soal penguatan kelembagaan LPSK. ”Saat ini kami sedang membangun sekretariat, dan Menteri Sekretaris Negara saat ini sedang menyeleksi para kandidat yang akan menjadi sekretaris di LPSK. Diharapkan pada Oktober ini sudah ada sekretaris,” kata Semendawai.

Selain itu, kata Semendawai, komisioner LPSK juga sudah berkonsultasi dengan Menteri Keuangan agar bisa disediakan gedung untuk kantor LPSK. Mengenai dana, kata Semendawai lebih lanjut, LPSK sudah mengajukan anggaran 2008 dan 2009. (VIN)

Lembaga Perlindungan Saksi Mulai Terima Pengaduan

--Sampai saat ini, para anggotanya belum dilantik dan belum punya kantor.--

JAKARTA -- Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, menyatakan telah menerima pengaduan dari saksi dari berbagai daerah. Namun, dia belum memberikan tanggapan karena Lembaga Perlindungan Saksi belum punya perangkat untuk melakukan tindak lanjut.

"Sementara ini kami minta mereka bersabar," ujar Abdul Haris kepada Tempo kemarin. Dia menyatakan khawatir, jika pengaduan itu ditanggapi, justru akan menimbulkan perbedaan pendapat di antara sesama anggota. "Karena kami belum punya mekanisme penerimaan pengaduan."

Pada Juli lalu, Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan tujuh anggota LPSK. Mereka adalah Teguh Soedarsono, Abdul Haris Semendawai, Myra Diarsi, I Ktut Sudiharsa, Lies Sulistiani, Lili Pintauli, dan Sindhu Krishno. Penetapan ini disahkan dengan surat keputusan presiden tertanggal 8 Agustus 2008.

Meski surat keputusan presiden telah keluar, para anggota LPSK sampai saat ini belum dilantik. "Belum ada info mengenai upacara pelantikan oleh Presiden," ujar Abdul Haris. Selain itu, menurut dia, para anggota LPSK masih menunggu kepastian lokasi kantor dan sarana pendukung kerja mereka. "Kami belum bisa mulai bekerja kalau belum ada kantor," ucapnya.

Untuk memastikan hal itu, pada pekan depan para anggota LPSK akan menemui pihak Sekretariat Negara untuk mendapatkan kepastian, sehingga, kata Abdul Haris, lembaga ini punya ruang untuk berdiskusi dan mulai menyusun struktur organisasi. "Kami berharap sudah bisa mulai bekerja pada September," katanya. Ia tidak ingin perlindungan terhadap saksi ditunda terlalu lama.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pembentukan lembaga ini dinilai penting karena salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana. FAMEGA SYAVIRA

Dukungan Keberadaan LPSK hanya Setengah Hati

Jumat, 12 September 2008 00:12 WIB

Penulis : Maya Puspita Sari
JAKARTA--MI: Pemerintah dinilai setengah hati mendukung keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pasalnya, Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia telah mengajukan struktur organisasi dan anggaran bagi LPSK kepada pemerintah. Namun hal itu belum ditanggapi hingga kini.

Demikian diungkapkan Komisioner LPSK, Abdul Haris Semendawai per telepon usai pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta di Jakarta, Kamis (11/9). “LPSK mempertanyakan keseriusan pemerintah, dalam hal ini Menkum dan HAM dalam mendukung keberadaan LPSK. Lembaga ini sudah dilantik sejak 8 Agustus 2008, namun sampai sekarang sekretariat belum ada, apalagi anggaran,” ujarnya.

Komisioner LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui LPSK dibantu menyusun struktur organisasi oleh Dirjen HAM. Sementara itu mengenai anggaran untuk lembaga itu, Haris menyatakan pihaknya belum menerima rancangan anggaran dari Dirjen HAM. Padahal, dalam Keppres diatur bahwa hal-hal menyangku kesekretariatan harus dirampungkan paling lambat 3 bulan sejak pelantikan.

Dia menerangkan, berdasarkan rancangan struktur organisasi yang diterima dari Dirjen HAM, ada lima bidang LPSK. Kelima bidang itu adalah, perlindungan saksi, bantuan kepada korban, kompensasi dan restitusi, peningkatan kelembagaan atau penelitian dan pengembangan, serta hubungan antar lembaga.

Menurutnya, para komisioner masih memfokuskan diri untuk mematangkan organisasi. Pasalnya, untuk memulai kegiatan, pihaknya belum memiliki dana, sarana dan prasarana.

Dia menambahkan, sejak September hingga Desember 2008, LPSK setidaknya membutuhkan anggaran Rp8 miliar hingga Rp13 miliar. “Anggaran tersebut tidak besar mengingat LPSK bekerja mulai dari nol,” cetusnya.

Pada tahun pertama, lanjut Abdul Haris, LPSK mengutamakan perlindungan saksi dan korban. Berdasarkan catatan yang dilakukan para komisioner, sekitar 100 saksi dan korban yang siap dilindungi oleh LPSK. Mereka adalah korban dan saksi dari berbagai kejahatan seperti korupsi, pembalakan liar, korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perdagangan orang.

Karena itu, Abdul Haris menyatakan pemerintah harus segera menanggapi kebutuhan LPSK. Termasuk kebutuhan sarana dan prasarana.

“Sudah banyak pekerjaan yang harus diselesaikan LPSK, tapi pemerintah belum juga menanggapi kebutuhan lembaga ini,” tandas dia.

Setali tiga uang dengan pernyataan Abdul Haris, Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho juga mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap LPSK. Padahal saat ini, permintaan untuk perlindungan bagi saksi dan korban untuk segala jenis kejahatan tinggi.

“Kalau tidak segera direalisasikan kebutuhan-kebutuhan LPSK, itu sama saja Presiden tidak memiliki komitmen tinggi dalam perlindungan saksi dan korban. Bahkan, membiarkan lembaga ini hanya menjadi lembaga papan nama saja,” cetus Emerson. (*/OL-03)

Wawancara dengan Abdul Haris Semendawai : Soal gugatan terhadap ahli waris Suharto

Radio Nederland, 12 Februari 2008

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam kasus gugatan perdata s enilai Rp. 14 trilyun terhadap Soeharto, memutuskan, tergugat harus digantikan oleh salah satu dari keenam anaknya, menyusul kematian orang kuat orde baru itu. Pengadilan menyatakan, kematian Soeharto tidak mempengaruhi jalannya pengadilan. Karena itu hakim memerintahkan jaksa untuk mendatangkan salah satu anak Soeharto. Walaupun demikian tidaklah berarti bahwa negara yang menggugat Soeharto akan menang sidang.

Berikut penjelasan Abdul Haris Semendawai dari ELSAM di Jakarta.

Abdul Haris Semendawai [AHS]: Saya belum bisa mengatakan bahwa ini ada manfaatnya ya. Secara prosedural memang ketika Soeharto meninggal, gugatan itu bisa dilanjutkan oleh ahli warisnya. Tergantung apakah ahli warisnya mau melanjutkan atau tidak. Tapi kelihatannya ahli waris Soeharto ingin melanjutkan kedudukan Soeharto sebagai tergugat dalam perkara ini. Nah tapi, kan pertanyaannya kemudian apakah memang tepat Soeharto itu digantikan oleh anak-anaknya.

Rumit
Saya melihat bahwa salah satu kerumitan itu adalah ketika Soeharto meninggal karena di dalam anggaran dasar itu biasanya posisi seseorang, di dalam yayasan, itu otomatis akan berhenti ketika orang itu meninggal dunia. Jadi hak dan tanggung jawab yang bersangkutan itu selesai
ketika dia meninggal dunia. Karena di dalam anggaran dasar yang standard ya, biasanya seperti itu. Itu yang pertama. Kemudian ketika dia meninggal apakah perlu dilanjutkan
oleh ahli waris karena biasanya kekayaan yayasan, bukan kekayaan individu, tetapi kekayaan yayasan itu sendiri. Dan yayasan ini kan lembaga sosial, yang kekayaannya itu sebenarnya nggak bisa dibagi-bagi kepada para anggotanya, tetapi harus digunakan untuk kepentingan-kepentingan sosial. Aturannya begitu. Karena dia bukan badan usaha atau perusahaan yang apabila ada harta di dalamnya bisa dibagi-bagikan kepada para pendirinya. Tetapi yang namanya yayasan dalam aturannya apabila yayasan itu akan dibubarkan misalnya, hartanya itu
harus diberikan kepada yayasan lain, yang memiliki kegiatan, yang memiliki kerja-kerja yang hampir sama dengan yayasan-yayasan yang akan bubar itu.

Nah, di situ kan menunjukkan bahwa dalam hal ini akan semakin rumit ketika campur aduk antara harta yayasan dengan harta warisan. Pasti nanti akan ada diskusi lebih lanjut tentang apakah harta-harta yang ada di yayasan itu, bisa diwarisi oleh anak-anaknya Soeharto atau tidak gitu kan? Nah, kalau itu bisa diwarisi oleh anak-anaknya Soeharto itu akan merugikan banyak pihak, terutama negara gitu. Karena harta yayasan itu sebenarnya bukan harta pribadi tapi harta lembaga yang ditujukan untuk keperluan lain hanya saja harta-harta itu disalahgunakan.

Radio Nederland Wereldomoerp [RNW] : Tadi anda mengatakan ada semacam
kerancuan ya, sejauh mana itu milik pribadi atau sejauh mana milik
yayasan apalagi ketika diwariskan ya? Nah, seberapa jauh menurut anda
pengadilan bisa berperan dalam hal ini, sampai di mana pengadilan itu
bisa mengambil keputusan?

AHS: Itu sangat tergantung dari gugatan itu ya. Jadi gugatan itu
ditujukan kepada Soeharto sebagai pengurus yayasan, bukan Soeharto sebagai pribadi. Karena itu merupakan harta yayasan. Nah, kalau Soeharto sebagai pengurus yayasan, ketika Soeharto meninggal itu yang digugat itu bukan ahli warisnya Soeharto, menurut saya ya, bukan ahli waris Soeharto yang digugat tetapi orang yang menggantikan posisi Soeharto di Yayasan itu. Karena yang digugat ini kan yayasannya, Soeharto sebagai Pengurus yayasan.

Tidak Otomatis
RNW: Dan itu tidak langsung otomatis anak-anaknya kan?

AHS: Tidak harus anak-anaknya gitu. Tetapi kalau gugatan itu memang
ditujukan kepada Soeharto secara pribadi, ya memang anak-anaknya
sebagai ahli waris yang menggantikan dia gitu. Tapi kan gugatan ini terkait
dengan penyalahgunaan, dugaan penyalahgunaan dana-dana yayasan.

Dalam hal ini apakah Soeharto dalam posisinya sebagai ketua yayasan,
ataukah posisinya sebagai orang yang diduga melakukan penyalahgunaan
keuangan tersebut. Yang pertama masih tidak menentu ya. Kemudian yang
kedua yang namanya gugatan perdata, juga harus dipastikan kalau pun
nanti pemerintah itu menang, itu ada harta-harta yang disita gitu ya.
Harta-harta yang harus disita oleh pengadilan, untuk memenuhi putusan
dari pengadilan tersebut.

Nah, kalau misalnya ternyata hartanya tidak mencukupi atau tidak ada
harta, yang bisa digunakan untuk membayar kemenangan yang ada di
putusan tersebut berarti kemenangannya itu hanya kemenangan di atas kertas
gitu.

* * *

Abdul Haris Semendawai Ketua LPSK

Rabu, 03 September 2008 | 23:41 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Abdul Haris Semendawai terpilih sebagai Ketua Lembga Perlindungan Saksi dan Korban dalam sebuah pemilihan, Rabu (3/9) malam. Pemilihan dilakukan secara internal oleh tujuh anggota Lembaga Perlindungan Saksi sekitar pukul 18.00 WIB. Dalam pemilihan yang diikuti semua anggota itu, I Ketut Sudhiharsa terpilih sebagai wakil ketua.

Semendawai, yang dihubungi Tempo usai pemilihan, mengatakan, langkah pertama yang akan dilakukan lembaganya adalah melakukan koordinasi dengan Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Dua lembaga itulah merupakan partner utama lembaga ini. "Komnas perempuan terutama untuk melindungi saksi korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya.

Menurut Semendawai, bentuk perlindungan saksi dan korban yang bisa diberikan lembaganya adalah dengan memberikan perlindungan secara hukum agar saksi pelapor maupun saksi korban tidak memperoleh tuntutan balik secara hukum. "Kami punya wewenang kepada aparat penuntut hukum agar tidak menuntut saksi pelapor maupun saksi korban dalam persidangan, kecuali kalau pelapornya memiliki itikad buruk," ujarnya.

Selain itu, Lembaga ini juga memberikan perlindungan identitas pelapor atau saksi dalam persidangan yang diduga rawan keberadaaanya untuk hadir dalam persidangan. Dengan adanya lembaga ini, saksi bisa memberikan kesaksian melalui teleconference atau testimoni di bawah sumpah yang dibacakan dalam persidangan. "Namun dalam pelaksanaannya nanti juga tidak boleh melanggar hak tersangka untuk melakukan cross examination terhadap orang yang memberikan kesaksian," ujar Semendawai.

Lembaga ini secara efektif sudah melakukan kegiatan sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden tertanggal 8 Agustus 2008. Kegiatan utama mereka saat ini masih sebatas kordinasi dengan lembaga seperti Mahkamah Agung, Kejagung dan Kepolisian. Karena pelaksanaan kegiatan lembaganya didasarkan pada Keputusan Presiden, ia berharap ada pelantikan oleh Presiden. "Sebab, bagaimanapun kami adalah lembaga yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden dan terikat kode etik. Oleh karena itu, kami harus dilantik dan disumpah," ujar Semendawai.

Semendawai tidak mau berpolemik terhadap pernyataan Mensesneg Hatta Rajasa yang menyatakan lembaga ini tidak perlu dilantik Presiden. Rencananya, Selasa (9/9), Lembaga Perlindungan Saksi akan kembali menemui Hatta Rajasa. Dalam forum pertemuan itu, mereka akan mematangkan konsep tugas pokok dan fusngi kegiatan serta pelantikan anggotanya. "Kami juga akan membicarakan mengenai keskretariatan yang sudah dijanjikan Setneg sebelumnya," kata Semendawai.

Selain Semendawai dan I Ketut Sudhiharsa, anggota Lembaga Perlindungan Saksi lainnya adalah Teguh Soedarsono, Mira Diarsi, Lies Sulistiani, Lili Pintauli, dan Shindu Khrisno.

Semendawai Terpilih Sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Saksi

Rabu, 03 September 2008 | 23:41 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Abdul Haris Semendawai terpilih sebagai Ketua Lembga Perlindungan Saksi dan Korban dalam sebuah pemilihan, Rabu (3/9) malam. Pemilihan dilakukan secara internal oleh tujuh anggota Lembaga Perlindungan Saksi sekitar pukul 18.00 WIB. Dalam pemilihan yang diikuti semua anggota itu, I Ketut Sudhiharsa terpilih sebagai wakil ketua.

Semendawai, yang dihubungi Tempo usai pemilihan, mengatakan, langkah pertama yang akan dilakukan lembaganya adalah melakukan koordinasi dengan Komnas Perempuan dan Komnas HAM. Dua lembaga itulah merupakan partner utama lembaga ini. "Komnas perempuan terutama untuk melindungi saksi korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga," ujarnya.

Menurut Semendawai, bentuk perlindungan saksi dan korban yang bisa diberikan lembaganya adalah dengan memberikan perlindungan secara hukum agar saksi pelapor maupun saksi korban tidak memperoleh tuntutan balik secara hukum. "Kami punya wewenang kepada aparat penuntut hukum agar tidak menuntut saksi pelapor maupun saksi korban dalam persidangan, kecuali kalau pelapornya memiliki itikad buruk," ujarnya.

Selain itu, Lembaga ini juga memberikan perlindungan identitas pelapor atau saksi dalam persidangan yang diduga rawan keberadaaanya untuk hadir dalam persidangan. Dengan adanya lembaga ini, saksi bisa memberikan kesaksian melalui teleconference atau testimoni di bawah sumpah yang dibacakan dalam persidangan. "Namun dalam pelaksanaannya nanti juga tidak boleh melanggar hak tersangka untuk melakukan cross examination terhadap orang yang memberikan kesaksian," ujar Semendawai.

Lembaga ini secara efektif sudah melakukan kegiatan sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden tertanggal 8 Agustus 2008. Kegiatan utama mereka saat ini masih sebatas kordinasi dengan lembaga seperti Mahkamah Agung, Kejagung dan Kepolisian. Karena pelaksanaan kegiatan lembaganya didasarkan pada Keputusan Presiden, ia berharap ada pelantikan oleh Presiden. "Sebab, bagaimanapun kami adalah lembaga yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden dan terikat kode etik. Oleh karena itu, kami harus dilantik dan disumpah," ujar Semendawai.

Semendawai tidak mau berpolemik terhadap pernyataan Mensesneg Hatta Rajasa yang menyatakan lembaga ini tidak perlu dilantik Presiden. Rencananya, Selasa (9/9), Lembaga Perlindungan Saksi akan kembali menemui Hatta Rajasa. Dalam forum pertemuan itu, mereka akan mematangkan konsep tugas pokok dan fusngi kegiatan serta pelantikan anggotanya. "Kami juga akan membicarakan mengenai keskretariatan yang sudah dijanjikan Setneg sebelumnya," kata Semendawai.

Selain Semendawai dan I Ketut Sudhiharsa, anggota Lembaga Perlindungan Saksi lainnya adalah Teguh Soedarsono, Mira Diarsi, Lies Sulistiani, Lili Pintauli, dan Shindu Khrisno.