Jumat, 24 Oktober 2008

Anggota LPSK Berkomitmen untuk Pro Korban

Hukumonline.com
[12/7/08]
Anggota LPSK berkontribusi dalam revisi peraturan pemerintah tentang kompensasi, restitusi, dan bantuan hukum yang dianggap
tidak pro korban. Reparasi bisa diberikan, walau pelaku belum diputus bersalah.
Tujuh anggota Lembaga Perlindungan Saksi Korban telah terpilih. Ketujuh anggota LPSK terpilih tinggal menunggu
pengesahan dari presiden. Diperkirakan satu atau dua bulan mendatang LPSK akan resmi bekerja walau belum
didukung sarana dan prasarana yang lengkap. Selasa (15/7) mendatang, nama-nama mereka baru akan dibahas dalam
Rapat Paripurna DPR untuk selanjutnya diajukan ke Presiden.
Meski belum dilantik, Kamis (10/7) siang para anggota LPSK sudah mulai memperkenalkan diri kepada masyarakat.
Dari tujuh anggota LPSK yang dijadwalkan hadir di acara perkenalan ini, dua diantaranya, Lies Sulistiani dan RM Sindhu
Krishno, berhalangan hadir. Ketidakhadiran keduanya tak mengurangi niat lima anggota lain mensosialisasikan LPSK
kepada masyarakat. Selain itu para anggota LPSK ini ingin menggalang kepercayaan publik terhadap lembaga yang
akan mereka kelola nanti. “Kepercayaan itu sangat penting karena kami tidak ingin LPSK ini menjadi lembaga yang
kerdil,” kata Abdul Haris Semendawai, salah satu anggota LPSK.
Kepercayaan barangkali menjadi kunci. Itu pula sebabnya, dalam rangka perkenalan anggota LPSK tampak sejumlah
korban pelanggaran HAM, termasuk keluarga korban tragedi 1965 dan keluarga korban tragedi Semanggi I. Dalam
dialog terkesan harapan besar para korban terhadap anggota LPSK terpilih.
Menurut I Ktut Sudiharsa, salah seorang anggota LPSK, langkah awal yang ingin dilakukan adalah menyamakan
persepsi, membuat struktur organisasi yang jelas, serta Standar Operating Procedure (SOP) mereka. Ktut Sudiharsa
mengatakan bahwa sekarang masih sulit untuk mengatakan bagaiman cara LPSK bekerja nanti karena para anggota
belum satu persepsi. “Ke depan akan kami buat petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis). Tentunya,
kami juga menunggu anggaran dari pemerintah”.
“Sebenarnya, LPSK sudah dapat bekerja walau anggaran belum ada. Setidaknya melakukan sosialisasi-sosialisasi
seperti ini,” ujar Myra Diarsi menyambung apa yang dikemukakan Ktut. Myra adalah mantan anggota Komnas
Perempuan yang juga dipilih anggota DPR sebagai salah satu anggota LPSK.
Setelah mempersiapkan gambaran teknis, para anggota LPSK ini akan fokus pada mekanisme kerja mereka ke depan.
Salah satunya adalah pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan hukum. Seperti yang diketahui, Pemerintah sudah
menerbitkan PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Sebelum diteken Presiden, sejumlah pihak sudah mewanti-wanti adanya kelemahan dalam RPP itu karena dinilai tidak
pro korban.
Koalisi Perlindungan Saksi, misalnya, berpandangan bahwa PP itu mengedepankan prosedur berbelit dan birokrasi,
sehingga harus direvisi. Dan anggota LPSK sebagai pihak yang dimandatkan UU No.13 Tahun 2006 untuk melindungi
saksi dan korban, tentunya dapat andil dalam revisi PP yang menjadi acuan mekanisme kerja mereka.
Dawai --panggilan akrab Abdul Haris Semendawai-- pun mengakui jika dalam PP kompensasi, restitusi dan bantuan
hukum ada beberapa kelemahan. “Syarat-syarat, salah satunya yang menjadi prioritas untuk direvisi”. Menurutnya,
seharusnya ada beberapa hak yang sudah dapat diberikan sebelum pengadilan membuat suatu keputusan. Ada juga
ada hak yang harus menunggu keputusan hukum tetap dari pengadilan.
“Itu akan kita pilah-pilah,” ujarnya. Jadi, revisi PP ini ke depan akan ditentukan mana-mana saja hak yang bisa
diberikan duluan ketika mereka meminta dan mana saja hak yang baru bisa keluar setelah ada putusan hukum tetap.
Teguh Soedarsono, anggota LPSK terpilih yang juga mantan petinggi Polri, menambahkan, sebenarnya untuk
pemberian kompensasi atau restitusi cukup dengan penetapan dari pengadilan. Tidak usah menunggu sampai pelaku
diputus bersalah. “Bisa-bisa sampai punya cucu belum juga dapat kompensasi,” celetuknya.
Ya, begitu hasil lidik dari polisi atau Komnas HAM mengatakan bahwa jelas ada pelanggaran HAM atau suatu tindak
pidana yang menimbulkan korban , Teguh menganggap kompensasi dan restitusi itu bisa diajukan. “Kalau polisi atau
Komnas HAM sudah menganalisa, mari kita duduk bersama dan bersepakat. Lalu, ajukan bukti-bukti yang ada ke
pengadilan agar mereka mengeluarkan ketetapan (untuk pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan hukum)”.
Jadi, tidak usah menunggu adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Karena logikanya, dalam
proses menunggu turunnya putusan, pasti dari si pelaku muncul pembelaan (kasasi dan banding). Bisa-bisa, kata
Teguh, sampai dia punya cucu nanti mungkin korban belum dapat kompensasi.atau restitusi. Lagipula, walau dapat
sekalipun mungkin manfaat kompensasi atau restitusi itu sudah jadi berkurang, atau bahkan tidak ada. “Padahal, inti
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19698&cl=Berita (1 of 2)7/28/2008 12:46:13 PM
Hukumonline.com
dari kompensasi dan restitusi ada tiga, manfaat, kecepatannya, simple pengurusannya”.
Hal ini diamini Ktut. Ia mengatakan seyogyanya begitu teridentifikasi sebagai korban, sebenarnya ia sudah dapat
menerima kompensasi. “Untuk hitung-hitungannya, per hari. Semakin lama korban mendapat kompensasi atau
restitusi, justru besaran yang harus dia terima semakin banyak”. Tapi, tidak usah melalui lembaga peradilan, cukup
dengan negosiasi.
Untuk wujud dari kompensasi dan restitusi itu sendiri, Teguh menganggap pemulihan itu tidak melulu diberikan dalam
bentuk uang. Mungkin lebih efektif dalam bentuk rehabilitasi nyata. Khususnya pada korban-korban yang mengalami
kerugian immaterial seperti trauma dan stigma. Dalam menaksir kerugian immateril, sebenarnya cukup sulit. “Harus
ada batas kategori maksimal karena keuangan negara kita terbatas,” tukasnya.
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19698&cl=Berita (2 of 2)7/28/2008 12:46:13 PM

Tidak ada komentar: