Jumat, 24 Oktober 2008

Pemerintah Diminta Segera Siapkan Kantor LPSK

Jakarta, Pelita

Ketua Komisi III DPR Trimedia Panjaitan minta
kepada pemerintah untuk segera mempersiapkan
kantor bagi anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) yang sudah selesai menjalani uji
kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) oleh
Komisi III DPR.
Saya menilai keberadaan LPSK ini sangat penting dan
harus segera bekerja. Karena itu pemerintah
hendaknya segera mempersiapkan kantor bagi
mereka, tutur Trimedia Panjaitan usai melakukan fit
and proper test bagi calon anggota LPSK kepada
Pelita di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu
(9/7).
Mengapa keberadaan lembaga tersebut menjadi
sangat penting, ujar Trimedia, karena selama ini
mereka yang menjadi saksi tidak mendapatkan
perlindungan dan juga konpensasi. Melainkan mereka
mengalami kesulitan dan bahkan teror. Dalam KUHP
pun tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang
itu.
Sesuai semangat penegakan hukum, keberadaan dan
kesediaan para saksi maupun korban dalam
memberikan keterangan harus dinilai sebagai sebuah
prestasi. Karana itu hak-hak untuk mereka harus
dipenuhi, papar Trimedia.
Dijelaskan dia lagi, walaupun tata cara perlindungan
saksi dan korban dalam kasus pelanggaran HAM
berat telah diatur tersendiri dalam sebuah Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 2 tahun, namun secara
faktual sejak diundangkannya PP tersebut masih
banyak saksi dan korban pelanggaran HAM berat
belum mendapatkan hak tersebut, termasuk di
dalamnya hak atas bantuan medis, psikologis dan
sosiologis.
Trimedia berpendapat, penempatan kantor LPSK bisa
saja di Depkum dan HAM atau di Sekretaris Negara
(Sekneg). Tetapi yang paling tepat menurut saya di
Sekneg saja, karena lembaga itu bertanggungjawab
langsung pada presiden, karena pekerjaan yang
ditanganinya adalah menyangkut kasus-kasus yang
merugikan negara dalam jumlah besar, kata kader
muda PDIP itu.
Tentang pendanaan/atau biaya operasional lembaga
tersebut Trimedia memperkirakan cukup besar. Kalau
pemerintah mau serius untuk penegakan hukum,
menyelamatkan kerugian negara, memberantas
kejahatan teroganisir, narkoba, kejahatan
kemanusiaan dan HAM maka biaya operasional LPSK
tersebut cukup besar. Jadi tergantung pemerintah,
ujar dia lagi.
Fit and proper test yang dilakukan Komisi III DPR
terhadap calon anggota LPSK sebanyak 14 orang,
tujuh diantaranya ditetapkan sebagai anggota LPSK.
Rentan risiko
http://www.hupelita.com/baca.php?id=52588 (1 of 2)8/25/2008 6:35:32 PM
Harian Umum PELITA
Sebelumnya anggota Komisi III DPR Nadrah Izahari
menanyakan kepada salah seorang calon anggota
LPKS, Myra Diarsi dari LSM/eks Komnas perempuan
tentang belum terwujudnya hak atas kompensasi dan
restitusi terhadap kasus pelanggaran HAM berat.
Jika lolos fit and proper test, bagaimana dia bisa
merealisasikan hak-hak saksi dan korban itu. Nadrah
juga menambahkan, seseorang yang berupaya
mengungkapkan ketidakjujuran dan penyimpangan di
tempat dia bekerja, rentan akan ancaman,
kehilangan pekerjaan, intimidasi tidak hanya
terhadap dirinya sendiri tetapi juga terhadap anggota
keluarga.
Fenomena itu pernah terjadi di Indonesia dalam satu
kasus seperti pengungkapan dugaan korupsi oleh
Ipkar Hajar, Wakil Pimpinan BNI cabang Sampit yang
disinyalir dilakukan oleh Pimpinan BNI cabang
Sampit. Dalam kasus itu, Ipkar harus diturunkan
jabatannya menjadi seorang staf tanpa alasan yang
jelas.
Dalam kasus ini, Nadrah menanyakan apa strategi
yang akan dilakukan, terutama dalam melindungi
para saksi dan korban.
Terhadap masalah itu, Myra Diarsi mengatakan,
dalam pelanggaran HAM berat sekalipun seperti yang
diatur dalam PP Nomor 2/2002, memberikan
kemungkinan-kemungkinan dan pengaturanpengaturan
kapan saksi atau korban bisa mendapat
restitusi yang berasal dari pelaku atau sejawatnya
atau kompensasi yang berasal dari negara dan juga
pemulihan.
Untuk merealisasikan hal ini, kata Myra, secara
konkrit hal yang terlebih dulu perlu diatur adalah hak
tentang pemulihan. Pemulihan di sini bukan hanya
secara material saja, tetapi LPSK perlu memahami
tentang hak pemulihan itu sendiri, karena pemulihan
itulah bekal yang paling dasar agar seseorang yang
telah menjadi saksi korban diutuhkan kembali harkat
kemanusiannya.
Dengan asumsi bahwa jika harkat kemanusiaannya
sudah utuh, maka dia akan lebih mampu menjalani
proses-proses hukum. Dalam menempuh proses ini
semua, menurut Myra, jika seseorang pernah
menjadi saksi atau korban, maka dia akan banyak
belajar bagaimana dia bersikap, bertanggung jawab
di dalam proses hukum atau proses legitimasi.
Dari sisi LPSK, Myra berpendapat, perlu membuat
batasan-batasan/definisi-definisi yang jelas mengenai
hal itu, termasuk ketika saksi dan korban
mengajukan untuk dilindungi. (kh)

http://www.hupelita.com/baca.php?id=52588 (2 of 2)8/25/2008 6:35:32 PM

Tidak ada komentar: