Jumat, 24 Oktober 2008

Upaya Membenahi Wajah Peradilan di Indonesia

Media Indonesia - News & Views
Senin, 06 Oktober 2008 00:01 WIB

TERKUAKNYA sejumlah kasus peradilan sesat dan tindak penyerangan terhadap saksi atau korban di ruang sidang menjadi potret buram institusi peradilan
saat ini. Wajah peradilan di Indonesia pun dicap karut-marut.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM Ifdhal Kasim menegaskan penilaiannya itu beberapa waktu lalu saat menyampaikan pernyataan sikap bersama Komnas
Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), terkait penyelenggaraan peradilan di Indonesia.
Ifdhal bahkan memandang, kasus-kasus serupa itu mencerminkan bahwa penyelenggaraan peradilan di Indonesia mengalami kemandekan, bila ditinjau dari
sudut pandang prinsip-prinsip HAM. Mestinya, menurut Ifdhal, penyelenggaraan peradilan harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar HAM dengan
memberikan jaminan terhadap hak para tersangka, asas praduga tak bersalah, asas persamaan di depan hukum, serta peradilan bebas dan tidak memihak.
Kondisi peradilan sekarang, Ifdhal meyakini, berkait erat dengan sistem penegakan hukum yang masih jauh panggang daripada api. Di antaranya, menurut
dia, adanya sikap aparat penegak hukum yang belum berkomitmen menyelenggarakan keadilan yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM.
"Ketidakpastian dan lemahnya penegakan hukum telah menyempitkan kemungkinan bagi saksi untuk memberi keterangan atau hadir dalam persidangan.
Pada akhirnya, itu menyulitkan peluang terpenuhinya keadilan bagi masyarakat," imbuhnya.
Ifdhal pun lantas mengaku prihatin. Sebab, dia melihat, peradilan telah menjadi arena perebutan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Dia
mencontohkan kondisi persidangan kasus Monas dan kasus terdakwa Muchdi PR yang dinilai intimidatif dan justru menjadi ajang unjuk massa.
"Kondisi persidangan yang intimidatif karena dipenuhi para suporter pihak tertentu dapat menyebabkan saksi tidak dapat mengungkap kebenaran yang
sesungguhnya," ujarnya.
Dengan merujuk situasi itu, Wakil Ketua Komnas Perempuan Nini Rahayu pun mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem peradilan di Indonesia. Di
antaranya, menurut dia, dengan memberdayakan dan memberi dukungan kepada para saksi dan korban.
"Harus ada perubahan sistem peradilan. Pemerintah berkewajiban untuk melindungi saksi dan korban hingga mereka selesai menjalankan peran-perannya,"
tuturnya.
Terkait lemahnya upaya perlindungan dari pemerintah terhadap saksi dan korban, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengakui pihaknya belum bisa
berbuat banyak. Pasalnya, setelah diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Agustus 2008, LPSK belum memiliki perangkat keorganisasian.
"Bagaimana kami mau bergerak kalau kami tidak memiliki anggaran dan kesekretariatan," tukasnya.
Tapi, Semendawai menjelaskan pihaknya telah memonitoring penyelenggaraan peradilan di Indonesia. "Kami melakukan analisis media massa dan survei ke
lapangan," katanya.
Sejatinya, melihat kondisi peradilan di Indonesia yang kerap intimidatif, menurut Semendawai, sesuai amanat konstitusi yang tertuang dalam UU 13/2006
tentang LPSK, pihaknya berhak melakukan bentuk-bentuk perlindungan apa pun bagi saksi dan korban. "Termasuk penyelenggaraan teleconference bagi
saksi," imbuhnya.
Dan demi merealisasikan hal itu, LPSK telah menggelar pertemuan dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga tersebut diketahui secara reguler kerap
menyelenggarakan peradilan dengan teknologi teleconference. "LPSK sudah menjalin kerja sama dengan MK sebagai penyedia peralatan. Jadi kalau ada saksi
yang merasa terancam secara fisik, teleconference dimungkinkan," tukasnya. (*/P-5)

http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MzQ2ODU=10/8/2008 11:12:18 AM

Tidak ada komentar: